Rasulullah mengajarkan kepada kita bahwa di antara faktor yang menyelamatkan diri kita adalah: “Sikap sederhana, baik dalam keadaan miskin maupun kaya.” Oleh karena itu, beliau melarang kita menyia-nyiakan harta yang telah Allah berikan kepada kita. Tujuannya adalah agar kita tetap dapat menjaga kehormatan dan nama baik kita, serta tidak sampai menengadahkan tangan meminta-minta kepada orang lain. Allah Subhanahu wata`ala berfirman:
وَلَا تُؤْتُوا۟ ٱلسُّفَهَآءَ أَمْوَٰلَكُمُ ٱلَّتِى جَعَلَ ٱللَّهُ لَكُمْ قِيَٰمًا وَٱرْزُقُوهُمْ فِيهَا وَٱكْسُوهُمْ وَقُولُوا۟ لَهُمْ قَوْلًا مَّعْرُوفًا
“Dan janganlah kalian serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya (anak yatim yang belum balig) harta (mereka yang ada dalam pemeliharaanmu).” [QS. An-Nisa’: 5]
Individu atau negara yang tidak memiliki harta dan hidup di bawah garis kemiskinan tidak akan dihormati oleh orang atau bangsa lain. Dan salah satu jalan paling utama untuk menjaga nikmat harta ini adalah prinsip kesederhanaan dalam mempergunakannya, serta tidak berlebihan dalam belanja kehidupan.
Tidak bergantung kepada orang lain adalah hal yang secara otomatis menjaga Agama dan kehormatan seorang hamba, sebagaimana dikatakan oleh Jibril kepada Nabi Muhammad Shallahu’alaihi wasallam:
يَا مُحَمَّدُ شَرَفُ الْمُؤْمِنِ قِيَامُ اللَّيْلِ وَعِزُّهُ اسْتِغْنَاؤُهُ عَنِ النَّاسِ
“Ketahuilah, bahwa kemuliaan seorang mukmin adalah dengan shalat malamnya, dan kehormatannya adalah dengan tidak bergantung kepada manusia lain.” Dan ini tidak akan terjadi kecuali dengang berperilaku sederhana.
Perhatian Ulama Salaf Terhadap Harta
Karena ulama generasi salaf begitu memahami nilai kesederhanaan, kita melihat betapa mereka dengan kezuhudan mereka terhadap dunia—sangat antusias bertindak sederhana (wajar) dalam membelanjakan harta. Mereka tidak menghambur-hamburkan harta yang diberikan Allah kepada mereka. Abu Bakar berkata, “Sungguh aku sangat tidak suka terhadap sebuah keluarga yang menggunakan rezeki beberapa hari hanya untuk belanja satu hari.”
Umar juga berkata, “Pemborosan dalam belanja hidup lebih aku khawatirkan terjadi pada kalian daripada kemiskinan. Karena sesuatu tidak akan berkurang jika disertai perbaikan, dan ia tidak akan tersisa jika disertai dengan perusakan.”
Abu Ad-Dardâ` suatu ketika melihat biji-bijian berserakan di kamarnya, lalu ia memungutnya seraya berkata, “Sesungguhnya di antara bentuk kefakihan seseorang adalah adanya rasa kasihannya terhadap penghidupannya.”
Suatu hari, sekelompok kaum yang harus membayar diyat mendatangi Qais ibnu ‘Abayah salah salah seorang shahabat Nabi untuk meminta bantuan. Mereka menemukannya sedang berada di kebunnya sedang memungut buah-buah yang jatuh, seraya memisahkan buah-buahan yang masih baik dengan yang sudah rusak. Setelah ia selesai melakukan itu, mereka mengajaknya berbicara. Lalu ia pun bersedekah membantu mereka. Sebagian dari mereka berkata, “Sedekah ini bertentangan dengan kesederhanaan hidupmu (memungut buah-buahan yang gugur).” Ia menjawab, “Tindakanku yang sempat kalian lihat itulah yang membuat aku dapat membantu kalian.”
Seorang pujangga pernah berkata, “Orang yang mendidik anaknya di atas kesederhanaan sesungguhnya telah memberikan manfaat yang lebih besar bagi si anak daripada mewariskan harta berlimpah.”
Kondisi Umat Mengharuskan Kesederhanaan yang Lebih
Seandainya Agama kita tidak menyuruh untuk berlaku sederhana dalam menggunakan harta, sebenarnya kondisi umat Islam yang terusir dan sengsara di berbagai tempat di penjuru dunia ini sudah cukup mendorong kita untuk meninggalkan sikap boros, lalu berperilaku wajar dalam berbelanja. Sikap itu berguna untuk membantu saudara-saudara kita yang membutuhkan. Mereka bahkan tidak memiliki makanan untuk menghilangkan rasa lapar. Mereka juga tidak mempunyai pakaian untuk menutupi aurat mereka.
Semoga Allah menghapus penderitaan kaum muslimin dan memberikan kepada kita perilaku sederhana di dalam hidup, baik dalam keadaan miskin maupun kaya.
Sumber: islamweb