Ditengah hiruk-pikuk dunia, manusia berjalan dalam berbagai arah, mengejar harapan dan impian. Namun, hanya segelintir yang menyadari bahwa jalan terbaik adalah jalan Allah. Jalan menuju Allah dilalui dengan amal sholeh menolong sesama, berkata jujur, menjaga shalat, bersedekah dan lainya agar sampai kepada-Nya.
Setiap amal baik, sekecil apapun, tak pernah sia-sia di sisi-Nya. Allah menjanjikan balasan kebaikan kepadanya bagi yang mengerjakannya dengan tulus ikhlas, namun sebaik-baik balasan kebaikan adalah dimasukan ke dalam surga. Surga bukanlah milik orang kaya, bukan pula hak istimewa orang berilmu, tetapi anugerah bagi mereka yang menanam amal sholeh di dunia
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman az-Zukhruf: 72
وَتِلْكَ الْجَنَّةُ الَّتِيْٓ اُوْرِثْتُمُوْهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ – ٧٢
Artinya: Dan itulah surga yang diwariskan kepada kamu disebabkan amal perbuatan yang telah kamu kerjakan.
Kemudian Allah Ta’ala juga berfirman dalam surat Al-Waqi’ah: 24
جَزَاۤءًۢ بِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ – ٢٤
Artinya: Sebagai balasan atas apa yang mereka kerjakan.
Kedua ayat ini, dan masih banyak lagi yang lainnya, menegaskan adanya pengaruh amal seseorang dalam hubungannya dengan masuk ke dalam surga. Namun, ada sebuah hadits Nabi ﷺ yang shahih yang secara sekilas kelihatannya bertentangan dengan ayat-ayat tersebut.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi ﷺ bersabda,
لَنْ يُدْخِلَ أحَدًا عَمَلُهُ الجَنَّةَ. قالوا: ولا أنْتَ يا رَسولَ اللَّهِ؟ قالَ: لا، ولا أنا، إلَّا أنْ يَتَغَمَّدَنِي اللَّهُ بفَضْلٍ ورَحْمَةٍ
”Amal seseorang sama sekali tidak akan bisa memasukkan dirinya ke dalam surga.” Para sahabat bertanya,”Tidak pula anda wahai Rasulullah?” Rasulullah ﷺ menjawab,”Tidak. Tidak pula diriku. Hanya saja Allah telah meliputi diriku dengan fadhilah dan rahmat.”
[Hadits riwayat Al-Bukhari (5673) dan Muslim (2816)]
Dalam hadits ini Rasulullah ﷺ tegas mengatakan bahwa amal seseorang tidak akan memasukkan dirinya ke dalam surga. Surga hanya bisa didapat dengan rahmat Allah dan fadhilah-Nya.
Untuk bisa memahami kedua nash yang kelihatannya bertentangan ini karena keterbatasan ilmu kita, maka kita perlu merujuk kepada penjelasan para ulama dalam mendudukkan nash al-Quran dan As-Sunnah semacam ini.
Para ulama telah menegaskan, kedua nash tersebut sama sekali tidak bertentangan. Ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa amal shaleh merupakan sebab masuk ke dalam surga dan bukan merupakan harga surga. Sedangkan pada hadits tadi meniadakan amal shaleh itu sebagai harga surga.
Surga bukanlah ganti dari amal shaleh, namun sebab untuk masuk ke dalam surga. Syaikh Alawi bin Abdul Qadir As-Saqaf mengatakan, ”Orang masuk surga hanyalah dengan rahmat Allah Ta’ala semata, sebab taufik untuk beramal dan hidayah untuk ikhlas dalam beramal, serta diterimanya amal, itu hanyalah karena rahmat Allah dan fadhilah-Nya”.
Maka, benarlah bila dikatakan bahwa seseorang tidak bisa masuk surga semata-mata karena amalnya. Inilah yang dimaksud dengan hadits tersebut. Adapun amal memang merupakan sebab masuk surga dan ini merupakan bagian dari rahmat Allah Ta’ala.”
Syaikh Abdul Karim bin Abdullah Al-Hudhair mengatakan, “Seorang Muslim masuk ke dalam surga dengan rahmat Allah Yang Maha Pengasih. Sedangkan kedudukan di surga hanya sesuai dengan amalan”.
Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman dalam surat Al-A’raf: 43
وَنُوْدُوْٓا اَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ اُوْرِثْتُمُوْهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ
Artinya: Diserukan kepada mereka, “Itulah surga yang telah diwariskan kepadamu, karena apa yang telah kamu kerjakan.”
Maksudnya, dengan sebab amal-amal kalian. Jadi, amal shaleh itu menjadikan seseorang layak mendapatkan kedudukan-kedudukan ini. Siapa saja yang amalannya lebih banyak dan lebih baik serta jauh lebih memenuhi syarat ikhlas dan mengikuti sunnah, maka tidak ragu lagi bahwa kedudukannya lebih tinggi.
Dan siapa saja yang di bawah itu, maka kedudukannya juga lebih rendah. Dengan demikian bisa dipadukan antara hadits tersebut dengan ayat-ayat yang semisal dengan firman Allah Ta’ala tadi.”
By: Masyhadi Akhyar
Refrensi:
Lihat Asbabur Rahmah, Syaikh Abdulah bin Jarullah Al-Jarullah, hal. 7-10 secara ringkas