Secara fitroh, setiap manusia pada hakikatnya mengetahui siapa Tuhan yang menciptakannya, bahkan mereka mengakui ke esaan-Nya.
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ
Artinya: “Setiap manusia yang lahir, mereka lahir dalam keadaan fitrah. Orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi atau Nasrani” (HR. Bukhari-Muslim)
Dalam perjalanan kehidupan manusia, keluarga atau lingkungan memberi dampak perubahan besar pada dirinya. Jika keduanya baik maka ia akan terbawa pada jalan yang benar, sebaliknya jika keduanya buruk akan membawa dirinya pada jalan kegelapan dan keburukan. Hingga manusia tiba pada suatu kondisi ketika ditimpa kesulitan, tidak ada lagi tempat mengadu, tersadar akan tipu daya perangkap setan makai ia akan teringat kepada Tuhanya dan kembali kepada-Nya seperti saat pertama kali diciptakan.
إِنَّ ٱلَّذِينَ ٱتَّقَوْا۟ إِذَا مَسَّهُمْ طَٰٓئِفٌ مِّنَ ٱلشَّيْطَٰنِ تَذَكَّرُوا۟ فَإِذَا هُم مُّبْصِرُونَ
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya”.
Fitnah yang datang jika berupa kesulitan dapat ditahan oleh sebagian besar orang, banyak yang mampu menanggung beban beratnya karena kesulitan membangkitkan elemen perlawanan serta dapat mengingatkan dirinya kepada Tuhannya. Ketika ia pasrahkan dirinya kepada Tuahnnya, kemudian ia hadapkan dirinya kepadaNya, bersimpuh memohon pertolongan-Nya, maka ia menemukan ketenangan dibawah naungan-Nya, mendapatkan harapan kembali dari pertolongan-Nya dan memperoleh kabar gembira dalam janji-janjiNya. Begitula sunnatullah yang berlaku terhadap hamba-hambanya, manusia berjalan sesuai kerangka yang telah dikehendakiNya. Al-Qur’an telah mengabarkan kepada mereka tentang sunnatullahNya dan memberi peringatan tentang fitnah yang datang kepadanya.
Berbanding terbalik, fitnah kesenangan dan kelapangan (zona nyaman) justru banyak menjadikan manusia terlalaikan, kesenangan mengalihkan perhatian mereka, kekayaan membangkitkan kesombongan dirinya, sehingga sedikit manusia yang dapat bersabar dan tersadar bahwa itu semua adalah salah satu ujian. Sudah menjadi ketentuan Allah ta’ala bahwa Dia menguji kelompok-kelompok tertentu dari manusia dengan fitnah-fitnah zona nyaman, mengenai hal ini Allah ta’ala telah sampaikan peringatanya melalui surat Al-A’raf:
وَمَآ أَرْسَلْنَا فِى قَرْيَةٍ مِّن نَّبِىٍّ إِلَّآ أَخَذْنَآ أَهْلَهَا بِٱلْبَأْسَآءِ وَٱلضَّرَّآءِ لَعَلَّهُمْ يَضَّرَّعُونَ * ثُمَّ بَدَّلْنَا مَكَانَ السَّيِّئَةِ الْحَسَنَةَ حَتّٰى عَفَوْا وَّقَالُوْا قَدْ مَسَّ اٰبَاۤءَنَا الضَّرَّاۤءُ وَالسَّرَّاۤءُ فَاَخَذْنٰهُمْ بَغْتَةً وَّهُمْ لَا يَشْعُرُوْنَ
Artinya: Kami tidaklah mengutus seseorang nabipun kepada sesuatu negeri, (lalu penduduknya mendustakan nabi itu), melainkan Kami timpakan kepada penduduknya kesempitan dan penderitaan supaya mereka tunduk dengan merendahkan diri. Kemudian Kami ganti kesusahan itu dengan kesenangan hingga keturunan dan harta mereka bertambah banyak, dan mereka berkata: “Sesungguhnya nenek moyang kamipun telah merasai penderitaan dan kesenangan”, maka Kami timpakan siksaan atas mereka dengan sekonyong-konyong sedang mereka tidak menyadarinya. (QS. Al-A’raf: 94-95)
Mengenai ayat ini, Syaikh Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili dalam tafsir Al-Wajiz menjelaskan bahwa Allah Ta’ala memberi mereka ujian kelayakan, yaitu kekayaan, kelapangan, kekuatan dan kesehatan sampai bertambah banyak dan berkembang, lalu mereka kufur dan tidak mensyukuri nikmat dan berkata: “Ini didapatkan dalam waktu lama, dan bukan dari Allah. Sungguh bapak-bapak Kami telah ditimpa kesengsaraan kemudian keberuntungan, sehingga kami bisa menempati posisi mereka”. Mereka tidak menyadari bahwa itu adalah cobaan dan ujian dari Allah, namun mereka tetap dalam keadaan kufur. Lalu Allah Ta’ala memberi mereka azab seketika tanpa ditunda-tunda, dan mereka tidak menyadari waktu kedatangannya
Kelompok-kelompok yang diuji dengan kenikmatan bisa jadi banyak dikehidupan ini atau justru terjadi dalam keluarga kita. Mereka biasanya merasa mudah dalam menjalani hidup dan selalu mendapatkan apa yang di inginkan dengan harta dan kedudukan mereka, sisi lain mereka tidak menunjukan sedikitpun rasa syukur kepadaNya. Semakin lama mereka berada dalam zona tersebut, maka akan menjadikan jiwa mereka tidak lagi peka, hati mereka menjadi lemah sehingga tidak lagi memperhatikan apapun. Mereka akan bertindak semaunya, sembrono, tidak peduli nasehat orang lain, bahkan tidak lagi takut akan kemarahan Allah. Seolah melakukan segala kemudorotandan kedzoliman tanpa beban.
Kelompok-kelompok inilah contoh yang menjelaskan bagaimana murka Allah menimpa mereka serta bagaimana akibat tindakan mereka. Allah telah beri mereka kesempatan demi kesempatan namun mereka selalu mengabaikan, Allah beri mereka peringatan berkali-kali namun juga tidak mau kembali, secara tidak sadar mereka merusak fitrah dirinya sehingga tidak diharapkan lagi untuk diperbaiki. Mereka merusak kehidupan mereka sendiri dengan kerusakan yang tidak mungkin untuk dipertahankan. Mereka mengundang azab Allah yang bisa saja datang kapanpun seketika tanpa ditunda-tunda, dan mereka tidak menyadari waktu kedatangannya.
Hal serupa Allah kisahkan dalam Al-Qur’an kisah tentang pemilik dua kebun yang tercantum dalam Surat Al-Kahfi ayat 32-34. Al-Quran mengisahkan tentang dua orang lelaki di zaman dulu. Keduanya bersahabat. Yang satu beriman. Dan temannya ingkar. Alquran tak menerangkan siapa mereka. Namanya. Di zaman siapa mereka hidup. Dimana tempat mereka hidup. Semua disamarkan. Jadi, kita tak tahu siapa mereka. dimana mereka hidup. Dan di zaman apa mereka ada.
Orang yang beriman dalam kisah ini, Allah uji dengan kesempitan hidup. Sedikit rezeki, harta, dan barang yang ia miliki. Tapi Allah memberinya nikmat terbesar, yaitu nikmat iman, yakin, dan ridha dengan takdir Allah. Serta berharap surga yang ada di sisi-Nya. Nikmat ini lebih utama dari harta dan materi yang fana. Temannya yang ingkar, Allah uji dengan kelapangan rezeki. Kemudahan duniawi. Dan Allah beri untuknya harta dan materi yang melimpah. Allah uji dia, apakah bersyukur atau malah kufur. Apakah rendah hati atau malah menyombongkan diri.
Allah mengaruniai yang ingkar dengan dua kebun. Si kafir memiliki dua buah kebun anggur. Pohon-pohon kurma mengelilingi kebunnya sebagai pagar. Di antara dua kebun itu, ada ladang. Allah alirkan air ke kebun itu. Saat panen, ia merasakan limpahan anggur, kurma, dan hasil ladang. Ia kaya, menikmati hasil panennya. Dengan penataan kebun yang hebat ini, ia pun berbangga. Ia memiliki ilmu dalam mengatur dan memaksimalkan lahan. Ia mampu menggabungkan tanaman yang berbeda dengan susunan rapi, serta irigasi yang baik. Ditambah lagi, dengan perawatannya, ia bisa panen dengan maksimal. Ia pun masuk ke dalam kebun dengan congkak, padahal ia menzhalimi dirinya sendiri. Ia ingkar dengan anugerah Rabbnya. Dan sombong pada orang lain.
Tak hanya itu, kenikmatan harta dan pengikut telah membuatnya lupa. Ia sangka miliknya itu kekal. Padahal bagaimana bisa sesuatu yang fana menjadi abadi. Harta dan materi yang ia miliki benar-benar membuatnya tenggelam. Demikianlah perasaan seseorang ketika merasakan puncak kuasa dan kaya. Ia pongah. Menyangka karunia harta adalah bukti Allah sayang padanya. Sehingga ia mengira di akhirat akan mendapatkan kedudukan serupa. Atau lebih baik lagi.
Temannya yang beriman mengajaknya ingat kepada Allah. Berusaha menyelamatkan sang teman yang merasa sudah di awang-awang. Terbang, lupa daratan. Temannya berusaha mengingatkan agar beriman kepada Allah. Bersandar dan berserah diri pada-Nya. Bukan berserah diri, mengandalkan harta dan pengikut yang ia miliki. Namun ia tetap ingkar dan tidak mau mendengarkan nasehat temannya. Akhirnya Allah binasakan kebun dan kekayaanya secara tiba-tiba.
By: Masyhadi Akhyar